Dari Joget Sampai Bangun Persepsi dalam TikTok Diplomasi
Rabu, 6 Agustus 2025 08:06 WIB
TikTok, dulu sekadar irama, kini menjadi ritme kemajuan: menggerakkan roda UMKM, menyuarakan optimisme, dan melukiskan mozaik budaya di dunia
“Dulu dibuang, sekarang makin disayang”
Jika ada sebuah platform yang tepat untuk menggambarkan frasa ini, sebagain dari kita akan teringat pada TikTok. Pada tahun 2018, platform ini sempat diblokir oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dengan berbagai alasan; pornografi, pelecahan, bahkan kekerasan, termasuk soal keamanan data. Hal ini menyebabkan TikTok memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat Indonesia, baik dari sisi konten yang dianggap tidak mendidik, dan penggunanya dikategorikan lebay (alay) dengan joget-joget tanpa makna. Skeptisisme ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di beberapa negara lain, seperti : Belgia, Tiongkok, Denmark, Uni Eropa, Amerika Serikat, Afghanistan.
Siapa menyangka, penolakan dari berbagai negera ini membuat TikTok melakukan berbagai langkah strategis dalam mengembangkan fitur-fiturnya. Saat ini TikTok telah menjadi raksasa media sosial global yang kian diminati. Dengan basis pengguna yang semakin bertambah, TikTok bukan lagi sekadar kanal hiburan, namun telah menjadi ruang komunikasi yang efektif dan ekosistem yang dinamis.
Dari data.goodstats tercatat bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama dalam penggunaan TikTok, sebanyak 157,6 pengguna per Juli 2024 dari berbagai sektor; bisnis, pemerintah, kreator, dan masih banyak lagi. Dengan dominasi pasar yang cukup besar ini, TikTok terus beradaptasi dan melakukan moderasi konten, serta mendukung komunitasnya untuk terus berkembang, dengan menciptakan serta mendorong konten-konten yang lebih edukatif, informatif, kreatif, dan relevan dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Khusunya, di Indonesia.
"TikTok, dulu sekadar irama, kini menjadi ritme kemajuan: menggerakkan roda UMKM, menyuarakan optimisme, dan melukiskan mozaik budaya di panggung dunia."
Di luar konsep hiburannya, TikTok menjadi sebuah ruang informal namun powerful bagi Diplomasi Politik dan Budaya. Konsep ini direkontruksi sebagai “TikTok Diplomasi,” yang dapat memanfaatkan konten video sebagai proyeksi identitas budaya, nilai-nilai, serta membangun pemahaman lintas batas. Eksposur terhadap keragaman representasi budaya di TikTok secara substansial mengurangi kebingungan kita tentang budaya lain, dan membawa pemahaman global yang lebih representatif.
Hal ini dapat dipahami melalui perndekatan teori Komunikasi Antar Budaya - Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory - URT) oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Teori ini menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi adanya ketidakpastian ketika dua orang asing atau lebih bertemu dan terlibat dalam suatu pembicaraan untuk pertama kalinya.
Memahami Mekanisme Komunikasi Antarbudaya di TikTok
Komunikasi antarbudaya pada dasarnya adalah tentang bagaimana setiap individu yang berangkat dari latar belakang yang berbeda mencoba memahami satu sama lain, termasuk interaksinya. Tidak jarang, interaksi ini dimulai dengan rasa canggung karena minimnya pemahaman tentang budaya masing-masing, sehingga muncullah ‘ketidakpastian.” Beragam pertanyaan akan muncul tentang : “apa yang mereka makan?”, “Mereka punya kebiasaan seperti apa?”, “bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi, seperti apa?”, dan lain sebagainya. Pertanyaan penuh keraguan ini wajar dialami dalam proses memahami komunikasi antar budaya. Sementara dalam proses memahami hal tersebut secara tradisional, memerlukan upaya percakapan langsung, waktu lebih lama, membaca berbagai sumber dan literatur, bahkan melakukan perjalanan ke tempat asal budaya tersebut.
Di sinilah relevansi Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory atau URT) yang dikembangkan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya terdorong untuk mengurangi ketidakpastian dalam interaksi sosial. Kenapa? Karena dengan memahami orang lain, kita bisa merasa lebih tenang, punya kontrol, dan membangun komunikasi yang lebih nyaman serta efektif. Semakin kita tahu tentang orang lain, semakin kecil jarak yang terasa, dan semakin besar peluang terciptanya hubungan yang positif. Lebih dalam mengenai URT ini, Berger mengatakan bahwa manusia dapat mengalami ketidakpastian dalam dua level yang berbeda, yaitu:
1. Cognitive Uncertainty (Ketidakpastian Kognitif) : Mereka tidak yakin apa yang mereka pikirkan tentang orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka.
2. Behavioral Uncertainty (Ketidakpastian Perilaku) : Mereka tidak yakin bagaimana harus berperilaku atau bagaimana orang lain akan berperilaku. Perilaku ini mencangkup verbal dan non verbal.
Dalam konteks sekarang, TikTok turut mempercepat proses pengurangan ketidakpastian itu. Lewat video-video pendek dengan konten yang beragam; mulai dari resep masakan khas, tarian kekinian, rutinitas harian, kebiasaan hidup, sampai pemandangan alam dari berbagai penjuru dunia. Kita disuguhkan informasi budaya yang sangat kaya dan mudah diakses. Tanpa sadar, saat kita menonton konten-konten ini, kita sedang melakukan self-awareness dalam membangun pemahaman dan informasi penting yang membantu mengurangi rasa asing terhadap budaya lain.
Bayangkan TikTok sebagai pemandu wisata virtual pribadi kita. Dulu, persepsi kita tentang suatu negara sering dibentuk oleh berita yang penuh konflik atau stereotip dari film Hollywood. Sekarang, kita bisa melihat sisi lain yang lebih personal dan nyata. Representasi semacam ini terasa lebih manusiawi, lebih dekat, dan sangat membantu mengurangi rasa asing di kepala kita. Isi konten akun tersebut membawa kita pada validitas budaya Indonesia dan pemahaman lebih banyak tentang negara Swedia.
Lebih jauh lagi, TikTok juga secara tidak langsung membantu kita jadi lebih melek budaya. Tanpa harus ikut kursus atau baca buku tebal, kita dapat memahami bahasa tubuh, norma sosial, cita rasa, atau referensi budaya populer dari berbagai negara. Paparan konten yang terus-menerus kita serap ini, pada akhirnya mebuat kita semakin peka dan mampu memahami perbedaan budaya antar kedua negara.
Singkatnya, lewat interaksi yang terus terjadi dengan berbagai representasi budaya di TikTok, kita bisa mengurangi ketidakpastian saat berusaha memahami budaya lain. Ini bukan sekadar soal tahu lebih banyak, tapi soal membangun pemahaman yang lebih mendalam dan berempati. Ketika rasa asing itu berkurang, akan lebih mudah bagi kita untuk membuka dialog, menjalin hubungan, dan membangun jembatan pengertian di dunia digital yang makin terkoneksi ini.
TikTok: Gerbang dan Jembatan Diplomasi Budaya
Dengan data pengguna yang masif, TikTok telah mampu melewati citra di masa lampau sebagai platform yang sekadar berisi hiburan ‘joget-joget’ saja. Ia berevolusi menjadi ruang yang semakin diminati, termasuk bagaimana memahami komunikasi dan interaksi antar budaya, serta menjadi gerbang dan jembatan diplomasi budaya, yang melampaui batasan geografis dan saluran diplomasi konvensional.
Model TikTok Diplomasi ini dapat dilihat dari “pembentukan pandangan pertama” (first impression builder). Jika dulu pandangan pertama kita tentang budaya di sebuah negara melalui berita di TV, namun sekarang kita bisa melihatnya melalui konten video dengan lebih unik melalui visual yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Semua itu disajikan dalam video TikTok dengan durasi sekita 15 detik - 10 menit. Dulu, kita hanya mampu membayangkan bagaimana budaya di sebuah negara, kini kita bisa menikmatinya langsung dalam genggaman ponsel di tangan kita melalui video yang tersebar melalui akun-akun TikTok.
Model lain dari TikTok Diplomasi ini adalah sebuah sarana “melek budaya” otomatis (Automatic Culture Literacy). Sebuah proses dimana kita dapat memahami secara langsung bagaimana bahasa atau kebiasaan dalam budaya tertentu. Tidak perlu kursus lama, namun dengan seringnya melihat atau mendengar konten yang disajikan, kita jadi ‘melek budaya,’ lewat scroll dan interaksi.
Potret komunikasi antar budaya yang bisa dilihat dari aneka video di TikTok adalah tentang bagaimana menafsirkan budaya Indonesia di mata orang netizen warga negara lain secara organik. Sebaliknya, kita juga dapat melihat perbandingan budaya negara lain yang tercermin dalam akun tersebut. Poin-poin antarabudaya yang dapat dicermati dalam konten antara lain : observasi dan narasi perbedaan kehidupan sehari-hari, edukasi melalui pengalaman pribadi, visualisasi perbedaan non-verbal dan konstekstualnya, serta respons dari komunitas TikTok melalui interaksi “like,” dan komentar.
Konten yang disajikan dapat membantu ‘melek budaya otomatis,’ dengan relatable, menghibur, dan juga memberikan edukasi. Sehingga hal ini membantu setiap individu dalam mengurangi ‘ketidakpastian’ dalam proses pemahaman komunikasi antar budaya.
Dua Sisi Mata Uang: Potensi Cerah dan Bayangan Gelap 'TikTok Diplomasi'
'TikTok Diplomasi' bisa jadi menawarkan potensi luar biasa dalam mereduksi ketidakpastian antarbudaya. Namun, layaknya sebuah koin, ia memiliki dua sisi yang fundamental. Di satu sisi, platform ini membuka peluang transformatif yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Konten yang diunggah pengguna, dengan beragam niche, secara efektif menjadi etalase budaya yang menarik perhatian global. Ini bukan sekadar promosi pasif; melainkan sebuah fasilitas interaksi otentik yang mendorong empati dan ketertarikan mendalam pada budaya asing, bahkan memicu minat pada produk UMKM atau destinasi wisata. Dengan demikian, TikTok secara de facto menjadi agen soft power yang kuat, menjembatani kesenjangan budaya dan membangun koneksi di tengah masyarakat global.
Namun, di sisi lain, potensi ini dibayangi oleh tantangan serius yang memerlukan kehati-hatian dari para penggunanya. Sifat video pendek yang cenderung ringkas berisiko pada penyerdahanaan budaya atau bahkan reproduksi stereotip, di mana penyajian yang tidak lengkap dapat disalahartikan sebagai keseluruhan dari objeknya. Selain itu, kompleksitas komunikasi antarbudaya di ranah digital juga rentan terhadap miskomunikasi, mengingat perbedaan konteks humor, ekspresi non-verbal, atau bahkan perbedaan pemahaman konteks bahasa yang dapat memicu kesalahpahaman.
Seperti platform media sosial lainnya, TikTok juga tidak kebal terhadap penyebaran narasi negatif dan polarisasi, yang justru dapat merusak citra budaya dan menciptakan ketidakselarasan dan harmonisasi antarbudaya. Oleh karena itu, penting untuk memahami kedua sisi mata uang ini agar pemanfaatan 'TikTok Diplomasi' dapat dilakukan secara optimal dan bertanggung jawab. Termasuk memahami bagaimana implikasi budaya dan etika di ruang digital, yang mengacu pada kompetensi Literasi Digital.
“TikTok seperti umumnya media sosial lain, tidak terlepas dan terlindungi sepenuhnya dari penyebaran konten-konten negatif (seperti berita bohong atau ujaran kebencian), termasuk tidak sepenuhnya dapat mencegah konflik antar budaya yang tercipta di ruang digital.”
Penutup : Memaksimalkan Pemahaman Antar Budaya dengan “TikTok Diplomasi”
TikTok Diplomasi ini bukan salah satu solusi dalam mencipakan komunikasi antar budaya melalui ruang digital. Namun, ini dapat menjadi alternatif yang menjembatani pemahaman antarbudaya dalam pengurangan ketidakpastian, di tengah arus informasi digital yang kian deras. 'TikTok Diplomasi' hadir sebagai fenomena krusial yang mengikis sekat-sekat geografis.
Potensi besar ini, memungkinkan setiap individu dapat saling berinteraksi dan mengamati budaya 'yang lain', dengan peran aktif dalam membangun kesadaran kolektif dari setiap individu. Ini melampaui sekadar menikmati konten hiburan; ia menuntut kita untuk mengakui bahwa setiap unggahan dan interaksi di TikTok secara de facto menjadi manifestasi 'diplomasi' kita sendiri, sebuah cerminan bagaimana budaya kita dipersepsikan dan bagaimana kita merespons budaya lain di panggung global.
Maka, tidak ada salahnya bagi kita sebagai pengguna Media Sosial untuk menginternalisasi self-awareness dalam berpartisipasi di ekosistem TikTok. Bukan hanya tentang membagikan keunikan budaya kita, melainkan juga tentang kritis dalam mengonsumsi konten: verifikasi, mencari tahu lebih dalam, dan berempati pada narasi dari sudut pandang yang berbeda, alih-alih mudah terjerumus dalam bias atau stereotip.
Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi konsumen pasif dari representasi budaya, melainkan pengguna yang secara sadar berkontribusi pada pembangunan jembatan global. Harapannya, kita semua dapat terpanggil untuk menjadikan layar gawai menjadi pemersatu yang mampu menumbuhkan apresiasi tehadap karya dari budaya dunia.

Bloger | Pegiat Literasi Digital | Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
0 Pengikut

Dari Joget Sampai Bangun Persepsi dalam TikTok Diplomasi
Rabu, 6 Agustus 2025 08:06 WIB
Media Sosial: Ruang Jurnalistik Alternatif untuk Isu Perempuan
Minggu, 25 Mei 2025 22:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler